Selasa, 24 Maret 2009

MENGENANG SAAT-SAAT TERAKHIR BUNG KARNO

Ngga ada salahnya kalau kita kembali mengingat salah satu founding father kita, Bung Karno dan apa yang terjadi pada saat² terakhir hidupnya dan kematiannya.
Berikut ini adalah cuplikan dari artikel² media massa & blog yang mengulas keadaan terakhir beliau. Apa yang terjadi pada beliau sangatlah ironis dan sangat berbeda dengan yang terjadi pada salah satu mantan presiden yang baru saja berpulang. Terimakasih sebesar² nya bagi semua penulis blog & artikel berikut ini, yang mengingatkan kita akan apa yang sebenarnya terjadi.
semoga berkenan
Tulisan Iman Brotoseno


Soekarno - Sejarah yang tak memihak
Malam minggu. Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya. Selain rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya juga ingin ia bercerita mengenai Presiden Soekarno. Ketika semua mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengar penuturan saat berpulang Sang proklamator. Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama tama bisa melihat secara langsung jenasah Soekarno.
Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan Bapak ( almarhum ) sedang menangis sesenggukan.
“ Pak Karno seda “ ( meninggal )
Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu KKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono - Panglima KKO – pernah berkata ,
“ Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO “
Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, dia dengan mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke istana Bogor. Tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjend Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang. Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.
“ Het is niet meer mijn huis “ – sudahlah, ini bukan rumah saya lagi , demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum akhirnya dimasukan kedalam karantina di Wisma Yaso.
Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh di rumahnya.

Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang suram, terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin – Gubernur Jakarta – yang juga berasal dari KKO Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC dan penuh dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari dalam bisa terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia !.
Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai di ruang tengah.
Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor. Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibu kota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir. Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa,
“ Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan. “
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )
dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan.
( Kompas 11 Mei 2006 )

Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut,
“ Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad “
( Kompas 13 Januari 2008 )

Sangat berbeda dengan dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter dokter dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Sekalipun Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang Presiden ! Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin bertambah sesak. Saya membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ? Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah menjadi hakiki karena selalu ada tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.
Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata
( * WS Rendra )
Artikel dari RADAR BALI, JAWA POS GROUP


Sabtu, 26 Jan 2008
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=192527&c=94
Mantan Ajudan Bung Karno, Putu Sugianitri Buka Rahasia Soal Perlakuan Negara kepada Bung Karno
Oleh ALI MUSTOFA, Denpasar
Selama Soeharto berkuasa sekitar 32 tahun, gerakan anti Soekarno terus digelorakan. Buku-buku berbau revolusi dan kekirian dibredel dan ditarik dari pasaran. Namun, kondisi itu terbalik setelah Pak Harto lengser, Mei 1998. Bagaimana reaksi Sugianitri saat itu?
LENGSERNYA Presiden diikuti berbagai hujatan dan cemoohan. Begitulah yang sering terjadi di negeri ini. Hal itu pula yang menyertai Soekarno saat turun tahta. Bahkan, dia mendapat hujatan sangat keji dari lawan politiknya. “Beliau (Soekarno) setiap bangun pagi selalu membaca koran yang terbit di Jakarta saat itu. Beliau saat itu membaca dengan jelas hujatan maupun cacian yang ditulis koran,” ujar Putu Sugianitri, mantan ajudan Bung Karno.
Bagaimana ekspresinya? Menurut perempuan yang biasa disapa Nitri, ini saat itu Soekarno lebih banyak tersenyum bila ada berita bernada menghujat. Malah sering kali Soekarno menjawabnya dengan canda. Semisal ketika foto dirinya membelakangi Bung Karno dipajang menjadi headline (berita utama) di salah satu koran terkemuka di Jakarta. “Kayaknya fotografernya naksir kamu Tri,” canda Bung Karno kepada Nitri. Dia yang waktu itu menahan amarah, hanya bisa tersenyum. Maklum saja, judul foto yang dipajang cukup serem. Dibilang kalau dirinya lonte-nya Soekarno.
Sikap Bung Karno yang terkadang cuek itu kerap membuatnya sering bertanya. Pasalnya hujatan dan cacian itu sudah sangat kasar. Sebagai bangsa beradab, Nitri ingin Bung Karno menghentikan cara-cara seperti itu. “Tapi, Bung Karno malah meledek saya, tahu apa katanya saya tentang politik,” lontarnya. Apa alasannya? Persisnya Nitri mengaku tak tahu. Namun, sebelum ajal menjemput Bung Karno sempat membisikinya. “Tahu kamu kalau aku ngomong blak-blakan. Aku yakin akan terjadi perang saudara. Kalau perang dengan bangsa lain, kita bisa membedakan fisiknya. Tapi dengan bangsa sendiri, itu sangat sulit. Lebih baik aku robek diriku sendiri, aku yang mati daripada rakyatku yang perang. Aku tidak sudi minta suaka ke negeri orang,” jelas Nitri mengutip kata-kata terakhir Bung Karno sebelum meninggal.
Lantas, seperti apa sikapnya terhadap Soeharto yang kini mengalami nasib sama seperti Bung Karno? Menurut Nitri, sebaiknya pemerintah Indonesia punya prinsip tegas. Bagaimana pun Soeharto adalah mantan Presiden yang pernah mencatatkan keberhasilan selama memimpin Indonesia. Kalau pun meninggal, dia menyarankan ada upacara kenegaraan mengenang jasa-jasanya. Kendati perlakuan seperti itu tidak pernah diberikan kepada Bung Karno. “Bapak meninggal dalam kondisi tidak punya apa-apa. Tapi, saya lihat waktu itu keluarga besar dalam kondisi bahagia,” ucapnya.
Menyangkut pengampunan, sebagai sesama manusia, menurut Nitri, wajib hukumnya memaafkan. Tapi, masalah hukum dan kerugian negara yang ditimbulkan Soeharto selama memimpin Indonesia, haruslah diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dia ingin Indonesia tidak terjebak dalam paradigma sempit. Hanya atas nama kemanusian lantas mematikan arti kemanusian itu sendiri. “Saya setuju proses hukum Soeharto dilanjutkan. Menurut saya itu lebih bermartabat,” tandasnya.
Yang menarik, menurut Nitri, di zaman Orde Lama Presiden hampir tidak melakukan korupsi sehingga Bung Karno wafat tidak meninggalkan warisan banyak, kecuali meninggalkan banyak istri. “Hitung saja hartanya kalau sekiranya ada. Toh, Bung Karno tak punya apa-apa, selain istrinya yang banyak. Tapi, soal punya banyak istri, itu kan urusan pribadi,” ujarnya.
Sebagai bukti, Nitri mengaku pernah melihat Bung Karno minta duit ke Frans Seda, mantan Menteri Keuangan era Soeharto awal 70-an. Frans Seda kemudian memberikan Bung Karno Rp 5.000. Menariknya, kendati tidak punya duit, uang itu dikembalikan lagi ke Frans. “Dipakai nggak, dibeliin apa-apa juga nggak. Justru gaji saya dipakai bareng-bareng keluarga Bung Karno,” imbuhnya.
Ditanya apakah dirinya tidak takut mengungkap plus minus Bung Karno dan Pak Harto, Nitri hanya menggeleng. Justru dia mengaku sudah menghubungi Guntur Soekarnoputra sebelum diwawancara wartawan koran ini. “Waktu saya diwawancarai wartawan Tempo maupun Kompas, saya juga ngomong apa adanya ke Mas Guntur. Dan, tidak ada masalah. Saya hanya ingin meluruskan sejarah,” pungkasnya.(*)
Artikel Kompas. Maaf tidak ada link nya.


Minggu, 13 Januari 2008
Fasilitas Presiden
Lain Soeharto, Lain Bung Karno, Lain Pula Gus Dur
Melihat fasilitas kesehatan yang diberikan negara kepada Soeharto yang sedemikian prima, rasa bangga muncul. Namun, kalau mengingat perlakuan terhadap Bung Karno dan bagaimana negara ini memperlakukan Gus Dur, timbul rasa tak percaya, geram, haru yang bercampur aduk.
Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, ketiganya pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini. Namun, realitasnya, negara memperlakukan ketiganya berbeda. Pengalaman sangat manis dirasakan Soeharto, tetapi getir bagi Bung Karno dan pahit bagi Gus Dur.
“Fasilitas yang diberikan kepada Pak Harto itu bukan lagi sangat bagus, tetapi sangat luar biasa. Bila dibandingkan dengan Bung Karno, jauh sekali,” ujar Rachmawati Soekarnoputri, anak ketiga Bung Karno, dalam perbincangan dengan Kompas, Sabtu (12/1).
Kalau Soeharto dirawat oleh tim dokter kepresidenan yang sangat banyak, Bung Karno justru dirawat dokter hewan saat di Batu Tulis. “Salah satu perawat juga ternyata bukan perawat, tetapi Kowad,” katanya.
Rachmawati, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu, berkesimpulan, perlakuan terhadap mantan kepala negara ini masih jauh dari aspek keadilan, kebenaran, dan kejujuran.
Sidarto Danusubroto, salah satu ajudan Bung Karno yang masih hidup, masih ingat benar bagaimana getirnya pengalaman yang diterima Bung Karno. Dia berharap hal itu tak pernah lagi terjadi pada siapa pun dan oleh siapa pun di negeri ini. Perlakuan terhadap semua presiden harus ada standarnya meski berbeda ideologi politik.
“Saya apresiasi perlakuan perawatan kesehatan yang diberikan kepada Pak Harto. Pada saat sama saya menyayangkan mengapa hal serupa tak diperoleh pendiri bangsa ini,” katanya.
Sedemikian buruknya pelayanan kesehatan Bung Karno, sampai-sampai ketika ditanya kelas apa, dia tak bisa menjawabnya. “Kamu jawab sendiri, kira-kira kelas apa ini? Dokter spesialis tidak ada. Dokter umum saja on call, tidak stand by,” kenang Sidarto, yang kini berusia 72 tahun itu.
Kejamnya lagi, Bung Karno pun dikucilkan karena dianggap bisa membawa polusi ketidakstabilan. Untuk pergi ke Bogor saja diwajibkan lapor, begitu pula jika hendak kembali dari Bogor ke Jakarta. Hal ini yang membuat kesehatan Bung Karno merosot drastis.
Sidarto menunjukkan coretan tangan Bung Karno di salah satu bukunya yang dikutip dari filosof Jerman, Freili Grath. “Man totet den Geist Nicht. Jiwa, ide, ideologi, semangat, tak dapat dibunuh.” Saat itu Bung Karno merasa akan mati karena tidak bisa bertemu siapa-siapa setelah dijadikan tahanan rumah.
Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 Februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewawancarai para dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran (Kompas, 11 Mei 2006).
“Perawatan Bung Karno itu kelas gakin, kelas keluarga miskin. Padahal, saat itu Bung Karno statusnya masih presiden,” ujarnya.
Obat yang diberikan pun hanya royal jelly (sejenis madu), vitamin B, B12, dan Duvadilan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal, Bung Karno mengalami gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik sudah ada, tetapi juga tidak diberikan, begitu juga mesin cuci darah.
Pengulangan Sejarah
Gus Dur yang saat ini juga menderita gangguan fungsi ginjal dan harus cuci darah ternyata juga merasakan pengalaman pahit.
“Gus Dur beberapa kali masuk rumah sakit. Aturannya, negara yang menanggung biaya, tetapi kenyataannya tidak demikian. Susah sekali ditagihnya dan pernah jadi tunggakan RSCM sampai RSCM akhirnya minta keluarga saja yang bayar. Sampai sekarang Gus Dur juga cuci darah seminggu tiga kali, negara tidak pernah membantu,” kata Yenny Zannuba Wahid.
Sungguh tidak masuk akal apabila negara tidak mampu. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007 saja Rp 752,4 triliun. Sementara itu, rata-rata biaya perawatan Gus Dur selama ini hanya belasan juta, sedangkan biaya sekali cuci darah Rp 600.000.
Namun, Yenny berbesar hati. Menurut dia, yang terpenting bagaimana komitmen pemerintah memberikan akses pelayanan kesehatan untuk semua. “Kalau Gus Dur yang mantan presiden dan haknya diatur di undang-undang saja diperlakukan seperti itu, apalagi rakyat,” paparnya. (sut)
Ditulis dalam Opini, Personal, Sejarah. Tag: Bung Karno, Indonesia, kematian, Presiden, Sejarah, Soekarno, Sukarno.

Minggu, 18 Januari 2009

PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK NEGARA

Perkembangan Politik RI
Secara Umum perkembangan politik negara Indonesia dapat digambarkan dalam poin-poin sebagai berikut:


a.Periode 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
- masa mempertahankan kemerdekan (Bld ingin tetap menjajah)
- perjuangan bersenjata/diplomasi
- bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republic
Sistem pemerintahan presidensial, nov 45 dikeluarkan maklumat Pemerintah no X
yang membuat sistem pemerintahan berubah Jadi parlementer (cirri khasnya ada PM)
- Penggunaan UUD ’45 (16 bab 37 pasal)
- Lewat perjanjian KMB di Den Haag Bld 27 Des ’49 pengakuan kemerdekaan diperoleh
dalam bentuk RIS


b. 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
- Masa bentuk negara serikat (Indonesia 16 negara bagian)
- bentuk pemerintahan republik
- sistem pemerintahan demokra si parlementer
- Penggunaan UUD RIS ’50 (6 bab 197 pasal).
- dikenal adanya lembaga legislatif berupa senat dan DPR
- mulai muncul benih leberalisme
- muncul tuntutan rakyat untuk Kembali ke bentuk kesatuan (tercapai tgl 17 Agust
1950)
- mulai muncul berbagai gangguan keamanan


c. 17 Agustus 1950 – 5 juli 1959
- Bentuk negara kesatuan,bentuk pemerintahan republic, sistem pemerthan parlementer
dengan penerapan demokrasi Liberal ala barat.
- Pemilu I direncanakan masa Kabinet Ali – wongso dan dilaksanakan masa kabinet
Burhanudin Harahap. dilaksanakan 2 kali : 29 sept ’55 (legislatif), 15 Des ’55
(konstituante)
1. separatisme meluas
2. meluasnya pengaruh par Pol beroposisi thd pmrth
3. Konstituante gagal
- keluar dekrit presiden
- Penggunan UUD S ’50 (4 bab 146 pasal)


d. 5 juli 1959 -11 Maret 1966
- Masa demokrasi terpimpin Dikenal dengan Orde Lama
- Bentuk negara Kesatuan , Bentuk pemrthn Republik , pmrthn parlementer dipakai
UUD ’45
- Dikenal sebagai masa keemasan dan Kejatuhan Soekarno
- Masa puncak penyelewengan Thdp pelaksanan UUD ’45
- Masa Indonesia cenderung ke Blok timur dan anti barat
- komunisme mencapai puncak Perkembangan di Indonesia
- Indonesia keluar dari PBB, Konfrontasi Indonesia – MalaySia, masalah Irian Barat
- pemberontakan PKI

e.11 maret 1966 – 21 Mei 1998
- Dikenal dengan masa Orde Baru dengan tekad melaksanakan Panca sila dan UUD ’45
secara murni dan konsekuen
– Awal : baik
Perkmb: menyimpang, dijadikan alat melegitimasi kekua saan
- Pemasungan kehidupan demokrasi, KKN merajalela, otoriter
- 21 Mei 1998 Soeharto jatuh yang menandai berakhirnya masa Orde Baru di Indonesia

f. 21 Mei 1998 – 23 Juli 2001
- Dikenal masa orde reformasi ,bertekad melaksanakn reformasi di segala bidang
kehidupan
- Demokrasi dan HAM dijunjung tinggi.
- parlemen posisinya menguat, kondisi politik belum stabil,Kedudukan presiden
banyak digoyang parlemen
- masa Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden dengan isi:
1. bubarkan Golkar
2. percepat pemilu
3. bekukan DPR/MPR
dekrit gagal bahkan Gus Dur dijatuhkan parlemen
- Timor timur lepas dari Indonesia


g. 21 Juli 2001 dst
- Dikenal dengan masa reformasi
- Penegakan demokrasi dan HAM makin ditingkatkan
- kondisi politik lebih stabil, kedudukan presiden kuat, parlemen juga kuat
- Pemilu langsung 2004 diadakan untuk memilih presiden dan anggota legislatif (DPR
dan DPD)
.